Pendahuluan
Tiga pilar utama
didalam membangun citra perpustakaan yang positif adalah pertama
membanguncitra Perpustakaan, kedua membangun citra pustakawan ketiga
membangun perpustakaan yang berbasis teknologi dan informasi. Kebijakan
yang salah akan memberikan dampak yang negatif dimata pemakai, oleh
sebab itu membangun citra positif merupakan kebijakan yang sangat
diperlukan. Sistem Informasi Manajemen (SIM) perpustakaan merupakan
pengintegrasian antara bidang pekerjaan administrasi, pengadaan,
inventarisasi, katalogisasi, pengolahan, sirkulasi, statistik,
pengelolaan anggota perpustakaan, dan lain-lain. Sistem ini sering
dikenal juga dengan sebutan sistem otomasi perpustakaan.
Latar Belakang
Perpustakaan merupakan salah satu sarana
pembelajaran yang dapat menjadi sebuah kekuatan untuk mencerdaskan
bangsa. Perpustakaan juga mempunyai peranan penting sebagai jembatan
menuju penguasaan ilmu pengetahuan yang sekaligus menjadi tempat
rekreasi yang menyenangkan, menyegarkan, dan mengasyikkan. Oleh karena
itu citra perpustakaan perlu dibangun agar dapat berkembang dengan baik
pada era globalisasi ini. Dengan membangun citra perpustakaan yang
positif, keberadaan perpustakaan akan membawa dan mengembangkan citra
institusinya, baik di dalam maupun di luar lembaga induknya. Dalam
mengembangkan citra, perpustakaan berusaha meningkatkan layanannya yang
sesuai dengan sistem manajemen mutu (Quality Management System).
Wiliam S. Dix Pustakawan pada Princeton Univercity, yang
dikutip oleh ( Saleh, 1995 ) mengatakan bahwa perpustakaan dapat
dikatakan bermutu apabila dapat memberikan layanan yang cepat, tepat dan
benar pada pemakai (user)Strategi yang ditawarkan untuk mengembangkan
citra perpustakaan khususnya perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia
melalui 3 (tiga) pilar utama yaitu:
- pertama membangun citra perpustakaan (building image),
- kedua meningkatkan citra pustakawan (librarian image),
- ketiga mengembangkan perpustakaan yang berbasis pada teknologi informasi dan komunikasi atau information and communication technology (ICT based)
Dengan menerapkan strategi tiga pilar
utama tersebut di atas, apa yang direncanakan oleh Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi (DIKTI) sebagai institusi yang melaksanakan
pengawasan, pengendalian, dan pembinaan perguruan tinggi telah
menargetkan 25 (dua puluh lima) perpustakaan perguruan tinggi di
Indonesia akan mencapai kualitas yang berstandar nasional atau bertaraf
internasional akan tercapai ( Pudjiono, 2006).
Berbicara tentang citra adalah merupakan
seperangkat kesan atau image di dalam pikiran orang terhadap
sesuatu objek. Citra suatu perpustakaan dapat dikatakan sebagai suatu
pandangan yang diberikan masyarakat tentang sebuah institusi
perpustakaan. Misalnya Perpustakaan IAIN Syekh Nurjati Cirebon, dengan
kekuatannya di bidang kelengkapan koleksinya atau sumber daya
manusianya, maka seorang pemakai lebih dulu akan memikirkan produk
layanan apa yang dapat memenuhi kebutuhannya sebelum ia memilih produk
layanan yang tersedia di perpustakaan tersebut.
Setiap perpustakaan selalu memberikan
kesan atau image, baik yang positif maupun negatif pada berbagai pihak
yang selalu berhubungan dengan layanan dari perpustakaan tersebut. Hal
ini merupakan konsekuensi logis, mengingat dalam segala aktivitasnya
perpustakaan selalu berhubungan dengan berbagai pihak, khususnya dengan
pemakai perpustakaan. Jadi dengan sendirinya pihak yang berkepentingan
akan selalu mengamati keberadaan perpustakaan tersebut agar tidak
merugikan pemakainya. Dapat kita bayangkan seandainya pemakai
perpustakaan diperlakukan dengan kasar atau tidak dilayani sebagaimana
mestinya hal ini akan memberikan efek atau kesan negatif pada citra
perpustakaan.
Oleh karena itu setiap perpustakaan
diharapkan mampu memberikan citra positif agar selalu sukses dalam
berinteraksi dengan pemakai. Citra negatif dapat memperlemah serta
merusak strategi yang telah dibangun secara efektif. Sedangkan citra
positif bisa didapatkan dengan mengkomunikasikan keunikan dan kualitas
terbaik yang dimiliki perpustakaan itu kepada pemakainya. Citra positif
juga dapat kita berikan melalui pelayanan prima sehingga pemakai merasa
senang dan puas dari layanan yang kita berikan. Demikian pula dengan
perpustakaan perguruan tinggi merupakan jantung bagi kehidupan sivitas
akademika. Melalui perpustakaan dapat diperoleh data maupun informasi
yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan dan perencanaan
serta dapat menyegarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Ironis memang, kondisi perpustakaan
perguruan tinggi di Indonesia masih kurang berkembang sesuai dengan
fungsi dan perannya karena diakui atau tidak, bangsa ini belum optimal
dalam mengembangkan sumber-sumber pembelajaran. Hal ini juga dapat
dilihat dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tidak ada satu pasal pun yang menuliskan
kata perpustakaan. Padahal menurut UNESCO, pendidikan untuk semua (education
for all), dapat lebih berhasil jika dilengkapi dengan keberadaan
perpustakaan.
Untuk memperbaiki kondisi tersebut,
perpustakaan tidak lagi berperan sebagai sesuatu yang pasif dan tidak
dapat diajak berbicara. Sebaliknya, perpustakaan harus menjadi sarana
interaktif dan menjadi tempat dihasilkannya berbagai informasi dan ilmu
pengetahuan baru. Dengan demikian perpustakaan perguruan tinggi perlu
membangun citra positif di mata masyarakat pemakai dan lingkungannya.
Kebijakan yang salah akan memberikan
dampak yang negatif dimata pemakai, oleh sebab itu membangun citra
positif merupakan kebijakan yang sangat diperlukan. Contoh kebijakan
yang salah seperti mengambil tindakan yang memerlukan waktu cepat
seperti memperbaiki fasilitas yang sudah rusak tidak ditanggulangi
dengan segera, kebersihan, fasilitas yang tidak dijaga membuat
pengunjung tidak nyaman. Agar pemakai di dalam mencari informasi yang
dibutuhkannya, selalu terpenuhi maka kita harus terus membangun citra
positif perpustakaan.
Pembangunan Citra Perpustakaan
Dalam sebuah institusi pendidikan,
keberadaan perpustakaan harus memberikan andil tersendiri dalam proses
pembelajaran. Untuk itu perlu adanya sinergi yang kuat antara kebijakan
dan institusi pendidikan dengan pengelola perpustakaan terutama untuk
memberikan daya dukung dalam mencapai tujuan dan misi institusi. Disini
peran pengambilan kebijakan, pengelola perpustakan dan civitas akademika
(pengguna) tidak bisa saling dipisahkan didalam mencapai tujuan dan
misi yang kita harapkan.
Setiap perpustakaan selalu memperoleh
kesan atau image, baik yang positif maupun negatif dari berbagai pihak
yang selalu berhubungan. Hal ini merupakan konsekuensi logis, mengingat
dalam segala aktivitasnya perpustakaan selalu berhubungan dengan
berbagai pihak, khususnya dengan pemakai perpustakaan. Jadi dengan
sendirinya pihak yang berkepentingan akan selalu mengamati keberadaan
perpustakaan tersebut agar tidak merugikan pemakainya. Seringkali dapat
kita lihat sebagai misal bahwa pemakai perpustakaan diperlakukan dengan
kasar, hal ini akan memberikan efek atau kesan negatif pada citra
perpustakaan.
Oleh karena itu setiap perpustakaan
diharapkan mampu memberikan citra yang positif agar selalu sukses dalam
berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya. Citra yang negatif dapat
memperlemah serta merusak strategi yang telah dibangun secara efektif.
Sedangkan citra yang positif bisa didapatkan dengan mengkomunikasikan
keunikan dan kualitas terbaik yang dimiliki perpustakaan itu kepada
pemakainya.
a. Membangun Citra Perpustakaan Berskala
Kecil
Peningkatan citra yang berskala kecil di
yaitu membenahai hal-hal yang menyangkut kebersihan, keindahan dan
fasilitas lainnya yang mendukung kenyamanan pengunjung sebagai contoh
tersediannya WC yang bersih, pendingin ruangan (AC) yang cukup dan
sebagainya harus diperhatikan untuk meningkatkan citra perpustakaan.
Dalam rangka meningkatkan citra perpustakaan ada perpustakaan yang
mengganti namanya dengan menggunakan istilah asing atau singkatan
seperti Brawijaya University Library untuk Perpustakaan
Universitas Brawijaya, Airlangga University Library untuk
Perpustakaan Universitas Airlangga, Electronic Library untuk
Perpustakaan Institut Pertanian Bogor, Sunan Ampel Surabaya untuk
Perpustakaan IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan lain-lain. Dengan perubahan
nama tersebut membuat perpustakaan lebih menarik dan diminati oleh
pemakai. Ini juga salah satu kebijakan yang dilaksanakan oleh
perpustakaan di dalam meningkatkan citranya di mata masyarakat baik di
lingkungannya sendiri, nasional maupun internasional.
b. Membangun Citra Perpustakaan Berskala
Menengah
Dari membangun citra perpustakaan
bersekala kecil pihak pengelola Perpustakaan juga mempunyai
keinginan-keinginan yang terpendam, misalnya dapat kita lihat pada
peningkatan citra yang berskala menengah, seperti mengembangkan website
perpustakaan sampai dengan membenahi koleksi dan ruangan. Website dapat
kita kenali dengan beberapa homepage yang dapat diakses lewat
internet, disamping menyediakan dengan koleksi-koleksi dalam bentuk
digital baik yang diolah sendiri atau yang berasal dari pembelian,
seperti koleksi digital karya sivitas akademika (skripsi, tesis,
penelitian, disertasi), dan malah ada perpustaakaan telah menerapkan
konsep e-library menitik beratkan pada penggunaan sarana komputer yang
bersifat multiple purposes yang dapat digunakan untuk berbagai
tujuan dan kepentingan. Misalnya melihat nilai, mengisi tranksip nilai
sampai mengakses data secara on-line bila mahasiswa membutuhkan
literature dalam mengerjakan tugas akademik.
c. Membangun Citra Perpustakaan
Berskala Besar
Peningkatan citra yang berskala besar,
dapat kita lihat beberapa perpustakaan mulai berbenah dengan membangun
gedung perpustakaan sesuai dengan standar yang dibutuhkan oleh
perpustakaan. Bangunan gedung perpustakaan yang dirumuskan berdasarkan
konsep yang sistemik, yaitu sebagai kesatuan sistem keandalan bangunan
gedung yang memiliki keterkaitan dengan kesatuan sistem penataan
bangunan gedung dengan lingkungannya. Adapun tujuannya adalah guna
terwujudnya pemanfaatan ruang perpustakaan yang berpihak kepada
kepentingan pemakainya terutama sivitas akademikanya (mahasiswa, staf
pengajar, dan peneliti) yang berlandaskan asas kemanfaatan yang
menampung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, asas keselamatan,
keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya.
Adapun rumusan sistem keandalan bangunan
gedung perpustakaan, terdiri atas aspek keselamatan, kesehatan, dan
kenyamanan. Keandalan bangunan gedung telah diarahkan untuk dapat
memandu harmonisasi standar, yang berpedoman pada pengembangan
standar-standar teknis nasional yang harmonis dengan standar teknis
negara lain dan standar internasional.
Dengan adanya peningkatan citra
perpustakaan baik dari skala kecil sampai besar, kita berharap
perpustakaan tidak lagi “menjemukan”, “terasing”, dan “menjadi anak
tiri” di lingkungannya sendiri dan kita berharap juga hadirnya sebuah
perpustakaan yang besar dan memadai serta berstandar atau bertaraf
internasional.
Meningkatkan Citra Pustakawan
Siapa pun tahu bahwa profesi pustakawan
di negeri ini masih merupakan “pilihan profesi yang alternatif”, tenaga
pustakawan “dipandang sebelah mata”, tenaga pengelola perpustakaan
“tenaga buangan”, dan lain-lain. Walaupun kita tahu bahwa tenaga
pustakawan merupakan jabatan karir dan jabatan fungsional yang telah
diakui keberadaannya oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan terbitnya
Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) nomor 18
tahun 1988 dan telah diperbaharui dengan SK Menpan nomor 132 tahun
2002.
Melihat permasalahan tersebut di atas,
mau tidak mau perpustakaan perguruan tinggi mulai berbenah dengan
membekali para tenaga pengelolanya baik tenaga administratif maupun
fungsional pustakawannya bersikap profesional dalam memberikan
pelayanan. Untuk dapat bersikap profesional banyak perpustakaan
perguruan tinggi mulai melakukan pengembangan sumber daya manusia (SDM),
khususnya melatih tenaga pengelola perpustakaan atau pustakawan dalam
bidang layanan, komputer, bahasa Inggris, studi banding ke berbagai
perpustakaan yang lebih maju. Pengembangan SDM lainya adalah dengan
mengikutsertakan dalam seminar maupun magang di bidang ilmu
perpustakaan, teknologi informasi dan komunikasi, dan mengikutsertakan
pendidikan formal S2 bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Peningkatan
kualitas/mutu layanan dengan cara pembekalan layanan prima bagi tenaga
pengelola perpustakaan/pustakawan.
Pustakawan dituntut bersikap
professional untuk meningkatkan kualitas/mutu layanan. Untuk menjadi
tenaga profesional yang perlu diperhatikan adalah kepribadian,
kompetensi, dan kecakapan. Selain itu tenaga pengelola perpustakaan
dituntut bersikap SMART, yaitu Siap mengutamakan pelayanan, Menyenangkan
dan menarik dalam memberikan layanan, Antusias atau bangga pada
profesinya sebagai tenaga fungsional pustakawan, Ramah dan menghargai
pemakai perpustakaan, serta Tabah di tengah kesulitan yang dihadapi.
(Pudjiono, 2006. 12)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar