Istilah “World Class University”
sedang sangat populer, khususnya di kalangan perguruan tinggi
Indonesia. Istilah ini semakin bergema terutama sejak pemerintah
mengeluarkan SK mengenai otonomi bagi beberapa perguruan tinggi negeri
(UI, UGM, ITB, IPB). Hampir semua perguruan tinggi tersebut secara tegas
maupun tersirat mencantumkan visinya menuju “World Class University”
atau “Universitas Bertaraf Internasional”. Beberapa perguruan tinggi
swasta, jelas-jelas ‘mengklaim’ dirinya sebagai universitas bertaraf
internasional.
Menjadi ‘universitas berkelas
internasional’ bukan persoalan teknis semata. Proses pembelajaran di
perguruan tinggi bukanlah sebatas menghasilkan sejumlah lulusan bergelar
sarjana, master dan doktor. Visi suatu perguruan tinggi menjadi
‘universitas bertaraf internasional’ memerlukan pemahaman dan kajian
mendalam mengenai kondisi objektif, sehingga diharapkan dapat
menciptakan strategi yang efektif untuk mewujudkan visi tersebut. Perlu
diingat, bahwa dunia pendidikan tinggi juga tidak terlepas dari unsur
sosial politik yang terjadi di masyarakat sehingga pengembangan
universitas juga sangat terkait dengan kebijakan-kebijakan politik
pemerintah. Jika Indonesia, melalui DIKTI ingin
mewujudkan harapannya memiliki 25 universitas berkelas internasional,
ada baiknya beranjak dari kenyataan dan fakta-fakta yang ada seputar
dunia pendidikan tinggi kita. Hal ini otomatis berlaku untuk
perpustakaan. Pembahasan mengenai perpustakaan perguruan tinggi akan
selalu terkait dengan lembaganya, dalam hal ini universitas. Kita tidak
mungkin membahas bagaimana mengembangkan perpustakaan A misalnya, dengan
mengabaikan universitas A nya.
PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA
Kondisi Objektif
Data statistik menunjukkan bahwa
publikasi ilmiah Indonesia di tingkat internasional hanya menyumbang
0,012% dari total publikasi ilmiah dari seluruh dunia. Padahal, menurut
versi Asiaweek, kategori hasil penelitian bernilai 25% dari keseluruhan
kriteria yang digunakan dalam penentuan peringkat universitas. Data
tersebut juga menunjukkan dengan jelas betapa tertinggalnya kita
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN saja! Thailand misalnya,
menyumbang 0,086%, Malaysia 0,064%, Singapura 0,179% dan Filipina
0,035%. Kontribusi terbesar tentu saja diduduki oleh negara-negara maju,
seperti Amerika Serikat 30,8%, Jepang 8,2% Inggris 7,9%, Jerman 7,2%,
dan Prancis 5,6%.
Sementara hasil penelitian tentang
kualitas sistem pendidikan yang dilakukan oleh Political and Economic
Risk Consultancy (PERC, 2001, dalam Mulyasana, 2002 : 4) terhadap 12
negara di Asia, menempatkan Indonesia pada urutan terakhir dari 12
negara yang diteliti! Menurut Kurniawan (2003 : 166) hasil ini harus
dicermati dan dikritisi sehingga pemerintah tidak terlena dengan bongkar
pasang terhadap teori dan kebijakan penyelenggaraan pendidikan, tetapi
yang paling penting adalah menetapkan standar, filosofi dan dasar yang
jelas untuk dijadikan sebagai garis haluan bagi semua jajaran
pendidikan, dan diperlukan strategi yang tepat untuk mewujudkannya.
Khusus untuk kondisi perguruan tinggi di
Indonesia, tahun 2001, laporan Asiaweek berjudul ”The Best
Universities in Asia” menyebutkan, UI peringkat ke-61, UGM ke-68,
UNAIR ke-73 dan UNDIP ke-75. Sementara ITB (perguruan tinggi khusus
teknologi) menduduki peringkat ke-20 atau merosot lima tingkat
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peringkat ini bahkan menghilang
tahun lalu. Artinya, tidak ada universitas dari Indonesia yang masuk
rangking 100 universitas terbaik di Asia! Padahal akses informasi dan
kesempatan untuk maju dengan memanfaatkan teknologi semakin terbuka
lebar.
Data di atas juga menunjukkan bahwa
perguruan tinggi kita sedang mengalami penurunan kualitas yang sangat
signifikan. Signifikansi ini antara lain ditandai rendahnya publikasi
ilmiah di tingkat internasional. Walaupun sudah banyak upaya yang
dilakukan untuk meningkatkan mutu SDM dan sumber daya investasi,
produktivitas penelitian dan publikasi di Indonesia tetap
memprihatinkan. Menurut Kurniawan (2003 : 166) selain kelemahan individu
peneliti, permasalahan yang dihadapi juga menyangkut insentif yang
terlalu rendah, adanya kepincangan yang luar biasa antara gaji dosen di
Indonesia dengan di negara-negara lain serta promosi karier yang tidak
mendorong untuk melakukan penelitian di bidang masing-masing. Kelemahan
lainnya berasal dari lingkungan kerja peneliti, seperti terbatasnya
sumber daya dan sarana penelitian, keterbatasan informasi, situasi
institusi yang tidak stabil, kekurangan tenaga pendukung, dan lain-lain.
Hambatan-hambatan lain juga berasal dari lingkungan yang sifatnya
makro, seperti tidak adanya iklim dan tradisi ilmiah (baca: budaya
akademik) yang mendukung, tidak adanya tuntutan untuk melakukan
penelitian, sistem birokrasi yang terlalu kaku, minimnya investasi untuk
melakukan penelitian, serta hambatan yang berasal dari sumber kebijakan
dan politik. Hal ini merupakan indikasi yang banyak dijumpai di
negara-negara berkembang pada umumnya, khususnya Indonesia.
UNIVERSITAS BERTARAF
INTERNASIONAL
Dalam salah satu page di website CURTIN International
College
(http://www.cic.wa.edu.au/translations/indo_files/welcome.htm) tercantum
kalimat seperti ini :
“dengan lebih dari 33.000 siswa yang
berasal dari lebih dari 100 negara, Curtin adalah sebuah universitas
bertaraf internasional yang terkemuka. Curtin telah memiliki reputasi
kelas dunia sebagai tempat pembelajaran yang dinamis dan merangsang daya
pikir, dan sebagai unversitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terkemuka
Australia, Curtin merupakan salah satu tujuan yang paling populer di
Australia bagi para siswa internasional.
Apakah istilah ‘taraf internasional’
merujuk pada cakupan wilayah atau kualitas?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), kata ‘internasional’ menyatakan bangsa-bangsa atau negeri-negeri
seluruh dunia. Maka jelas, istilah ini merujuk pada cakupan wilayah.
Namun dalam konteks universitas, taraf internasional tentu saja tidak
hanya mencakup wilayah, tapi kualitas. Kualitas tidak hanya merujuk pada
mutu lulusan, tapi juga mutu layanan, fasilitas dan lain-lain. Ukuran
kualitas dapat dilihat dari indikator yang digunakan untuk menentukan
rangking universitas terbaik.
Penentuan rangking sebagai universitas
terbaik umumnya menggunakan indikator sebagai berikut :
Criteria Indicator Code Weight
Quality of Education Alumni of an institution winning Nobel Prizes and Fields Medals
Quality of Education Alumni of an institution winning Nobel Prizes and Fields Medals
Alumni 10%
Quality of Faculty Staff of an institution winning Nobel Prizes and Fields Medals
Quality of Faculty Staff of an institution winning Nobel Prizes and Fields Medals
Highly cited researchers in 21 broad
subject categories Award
HiCi 20%
20%
Research Output Articles published in
Nature and Science*
Articles in Science Citation
Index-expanded and Social Science Citation Index N&S
SCI 20%
20%`
Size of Institution Academic performance
with respect to the size of an institution Size 10%
Total 100%
Total 100%
Sumber : asiaweek.com
Selain faktor aksesabilitas dan cakupan
yang luas, indikator di atas dapat dijadikan sebagai acuan untuk
mencapai universitas bertaraf internasional.
PERPUSTAKAAN BERTARAF
INTERNASIONAL
Pasal 40 PP tentang Pendidikan Tinggi
menegaskan bahwa perpustakaan merupakan unsur penunjang pendidikan
tinggi. Secara harafiah, unsur penunjang dapat diartikan sebagai sesuatu
yang harus ada untuk kesempurnaan yang ditunjang. Peran strategis ini
juga terlihat jelas dalam proses akreditasi sebuah pendidikan tinggi,
dimana perpustakaan merupakan unsur utama, walau bukan yang pertama.
Jika suatu lembaga pendidikan tinggi ingin mendapatkan akreditasi resmi,
maka perpusakaan dan segala isinya wajib ada. Artinya, akreditasi tidak
akan diperoleh jika lembaga tersebut tidak memiliki perpustakaan.
Secara teori, perpustakaan sebetulnya memiliki peran strategis dalam
eksistensi pendidikan tinggi. Sebagai unsur penunjang penting,
perpustakaan tidak dapat diabaikan, khususnya dalam hal pencapaian visi.
Jika sebuah universitas ingin menjadi ‘universitas bertaraf
internasional’, otomatis perpustakaan juga harus ikut menjadi
‘perpustakaan bertaraf internasional’.
Tahun lalu, website College
Confidential mengangkat topik diskusi tentang rangking perpustakaan
terbaik di dunia. Sama seperti penentuan universitas terbaik, indikator
yang digunakan untuk penentuan perpustakaan terbaik juga berbeda-beda.
Ada yang didasarkan pada jumlah koleksi, fasilitas dan kecanggihan
teknologi yang digunakan.
Princeton Review Gourman melaporkan
rangking 10 perpustakaan terbaik di Amerika dengan skala penilaian 1- 5
sebagai berikut :
- Harvard : 4.94
- Yale : 4.91
- Illinois UC : 4.89
- Columbia : 4.85
- Cornell : 4.83
- Michigan AA : 4.81
- Berkeley : 4.77
- Wisconsin Mad : 4.74
- Stanford : 4.73
- Ucla : 4.70
Sementara dari segi jumlah koleksi,
urutan Perpustakaan terbaik adalah sebagai berikut:
1. Harvard University (16 million
volumes)
2. Yale University (11 million volumes)
3. University of Illinois-Urbana Champaign (10 million volumes)
4. University of California-Berkeley (9 million volumes)
5. Columbia University (8 million volumes)
5. Stanford University (8 million volumes)
5. University of California-Los Angeles (8 million volumes)
5. University of Michigan-Ann Arbor (8 million volumes)
5. University of Texas-Austin (8 million volumes)
6. Cornell University 7 million volumes)
6. University of Chicago (7 million volumes)
7. Indiana University-Bloomington (6.5 million volumes)
7. University of Wisconsin-Madison (6.5 million volumes)
8. Princeton University (6 million volumes)
8. University of Minnesota-Twin Cities (6 million volumes)
8. University of Washington (6 million volumes)
9. Ohio State University-Columbus (5.5 million volumes)
9. University of North Carolina-Chapel Hill (5.5 million volumes)
10. Duke University (5 million volumes)
10. University of Arizona (5 million volumes)
10. University of Pennsylvania (5 million volumes)
10. Univiersity of Virginia (5 million volumes)
2. Yale University (11 million volumes)
3. University of Illinois-Urbana Champaign (10 million volumes)
4. University of California-Berkeley (9 million volumes)
5. Columbia University (8 million volumes)
5. Stanford University (8 million volumes)
5. University of California-Los Angeles (8 million volumes)
5. University of Michigan-Ann Arbor (8 million volumes)
5. University of Texas-Austin (8 million volumes)
6. Cornell University 7 million volumes)
6. University of Chicago (7 million volumes)
7. Indiana University-Bloomington (6.5 million volumes)
7. University of Wisconsin-Madison (6.5 million volumes)
8. Princeton University (6 million volumes)
8. University of Minnesota-Twin Cities (6 million volumes)
8. University of Washington (6 million volumes)
9. Ohio State University-Columbus (5.5 million volumes)
9. University of North Carolina-Chapel Hill (5.5 million volumes)
10. Duke University (5 million volumes)
10. University of Arizona (5 million volumes)
10. University of Pennsylvania (5 million volumes)
10. Univiersity of Virginia (5 million volumes)
(Note : when those libraries list
their volumes, they are refering to titles. Universities have several
copies of each volume, depending on the demand for that volume and on
the size of the university).
Berbagai kalangan di Amerika mengatakan
bahwa indikator yang dapat digunakan untuk mencapai status ‘perpustakaan
bertaraf internasional adalah :
1) Services and collections
2) Accessability
3) Variety of literary offerings.
4) Comfort and availlability of reading/studying spaces.
5) User Statisfaction
2) Accessability
3) Variety of literary offerings.
4) Comfort and availlability of reading/studying spaces.
5) User Statisfaction
Indikator tersebut dapat dijadikan acuan
untuk mencapai perpustakaan bertaraf internasional. Tentu saja tidak
semua indikator dapat dicapai secara optimal dalam waktu yang bersamaan,
karena setiap indikator tergantung pada kondisi objektif masing-masing
perpustakaan. Untuk lebih memudahkan pemahaman, dibawah ini akan
diuraikan faktor-faktor penentu yang perlu dikembangkan untuk
mengoptimalkan indikator mencapai perpustakaan bertaraf internasional.
Uraian didasarkan pada kondisi nyata yang terjadi di perguruan tinggi di
Indonesia serta solusi yang dapat dijadikan alternatif pemecahan
masalah.
a. Dana
Masalah dana sesungguhnya tidak
hanya dihadapi perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia. Perpustakaan
di luar negeri, seperti Amerika pun tetap mengeluhkan masalah alokasi
anggaran mereka. Hal ini terjadi karena investasi di perpustakaan memang
tidak langsung memberikan benefit nyata bagi lembaga. Output dari
Perpustakaan bersifat intangible, tidak kasat mata : masyarakat cerdas
dan kritis! Sementara bagi sebagian besar lembaga atau universitas,
perpustakaan belum atau bukan prioritas utama untuk dikembangkan. Namun
berbeda dengan di Indonesia, perpustakaan di luar negeri lebih memiliki
dukungan dari pemerintah dan kebebasan dari lembaga dalam mencari dana.
Perpustakaan bertaraf internasional
memiliki anggaran operasional pokok sebesar rata-rata 10 % dari total
anggaran universitas.
Kendala:
- Tidak semua perpustakaan mengetahui jumlah anggaran yang dialokasikan oleh lembaga untuk operasional perpustakaan
- Pimpinan perpustakaan tidak memiliki akses informasi untuk mengetahui alokasi anggaran
- Alokasi anggaran untuk perpustakaan umumnya untuk pengadaan koleksi
- Pimpinan perpustakaan tidak memiliki kebebasan untuk memanfaatkan dana yang ada karena harus sesuai dengan program kerja universitas
- Perpustakaan hanya mengandalkan dana/anggaran dari lembaga Universitas harus menciptakan transparasi dan keterbukaan dalam hal anggaran.
Solusi yang dapat ditempuh:
- Pimpinan perpustakaan harus memiliki posisi strategis di universitas, sehingga memiliki bargaining position yang bagus. Universitas perlu mengakomodir kebutuhan ini dalam bentuk SK dan penyusunan struktur organisasi yang tepat.
- Perpustakaan harus dapat meyakinkan pimpinan universitas mengenai pentingnya pengembangan perpustakaan secara keseluruhan, tidak hanya pengadaan buku.
- Universitas harus memberikan kebebasan yang bertanggung jawab dalam hal mengelola dana, termasuk efisiensi birokrasi yang seringkali menjadi penghambat bagi kelancaran kegiatan.
- Ciptakan peluang-peluang untuk mendapatkan dana dengan cara-cara professional. Pustakawan harus memiliki jiwa entrepreneurship sehingga dapat mencari sumber dana dari luar lembaga. Cara-cara yang dapat ditempuh antara lain dengan mengadakan pelatihan2 di bidang kepustakawanan, menjalin kerja sama dengan instansi lain atau perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan perpustakaan (seperti penerbit, media massa, pengembang software, pengembangan otomasi perpustakaan, dan perusahaan yang bergerak dalam pengadaan material perpustakaan)
- Bentuk konsorsium antar perpustakaan.
b. Koleksi
Dalam ‘Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi’ edisi
ketiga yang dikeluarkan oleh DIKTI, dikatakan bahwa : “Perpustakaan
perguruan tinggi wajib menyediakan 80% dari bahan bacaan wajib mata
kuliah yang ditawarkan di perguruan tinggi. Masing-masing judul bahan
bacaan tersebut disediakan 3 eksemplar untuk tiap 100 mahasiswa….!”
Perguruan tinggi bertaraf internasional
memiliki rasio antara pengguna dengan jumlah koleksi, minimal 1 : 50.
Artinya, 50 judul koleksi untuk satu orang pengguna. Ini masih untuk
kawasan Asia seperti National University of Singapore (NUS) dan Nanyang
Technological University (NTU). Jika merujuk pada Harvard yang memiliki
koleksi 16 milyar, maka dengan jumlah pengguna 1 juta saja, rationya
sudah sangat tidak terjangkau : 1 : 16.000! Angka ini sebetulnya tidak
mengherankan, mengingat setiap tahun universitas pasti membeli koleksi,
sementara jumlah pengguna (baca : sivitas akademika) biasanya stabil
atau hanya mengalami pertambahan yang tidak terlalu siginifikan, kecuali
ada pembukaan program studi baru.
Perguruan tinggi di Indonesia masih
sangat jauh dari ratio tersebut. Universitas Indonesia misalnya, dengan
total jumlah koleksi kurang lebih 1 juta berbanding jumlah sivitas
akademika hampir 50.000 orang, rationya masih 1 : 20. Persoalan koleksi
seharusnya tidak hanya menyangkut kuantitas, tapi juga kualitas. Karena
itu sangat penting mengadakan evaluasi terhadap koleksi. Hasil evaluasi
juga dapat dijadikan acuan untuk menyusun kebijakan pengadaan koleksi.
Perpustakaan bertaraf internasional
memiliki koleksi milyaran judul dengan ratio minimal 1 : 50 antara
pengguna dan koleksi, serta langganan online database dari berbagai
disiplin ilmu.
Kendala:
- Perpustakaan tidak memiliki kebijakan pengembangan koleksi yang tepat.
- Keterbatasan dana dan prosedur (birokrasi) pengadaan koleksi terlalu rumit sehingga membatasi peluang mendapatkan koleksi berkualitas dan dalam waktu singkat.
- Perpustakaan tidak memiliki peralatan yang memadai untuk perawatan koleksi
- Kehilangan koleksi masih sering terjadi karena sistem yang tidak mendukung
- Perpustakaan sering menjadi gudang penyimpanan buku karena pustakawan merasa ‘tidak tega’ menyingkirkan koleksi yang sudah tidak bermanfaat. Kebijakan pengembangan koleksi harus merujuk pada misi dan visi universitas. Koleksi Perpustakaan harus dapat mencerminkan ‘isi’ universitas.
Solusi yang dapat ditempuh:
- Manfaatkan kerjasama dengan perpustakaan lain (seperti mengadakan inter library loan dan akses bersama).
- Perawatan koleksi merupakan alternatif untuk mempertahankan jumlah dan kualitas koleksi. Perpustakaan harus memiliki jadwal dan fasilitas khusus untuk perawatan koleksi (misalnya : fumigasi, jilid ulang, dsb.)
- Teknologi dapat dimanfaatkan untuk mencegah kehilangan koleksi. Penggunaan security system terbukti mampu menekan pencurian koleksi dari perpustakaan, khususnya perpustakaan yang menerapkan sistem layanan terbuka.
- Perpustakaan harus memiliki wawasan yang luas mengenai perkembangan
kurikulum di lingkungannya, sehingga mampu mengatakan: “kami tidak butuh
koleksi seperti ini!” dengan alasan yang tepat.
c. Sumber Daya Mahasiswa ( SDM)
Perkembangan teknologi telah
menimbulkan kekuatiran tersendiri di kalangan pustakawan, dimana ada
kecenderungan bahwa tugas-tugas manusia pada akhirnya akan tergantikan
oleh komputer atau mesin. Persepsi ini tentu saja keliru mengingat
kegiatan di perpustakaan adalah kegiatan ‘kemanusiaan’. Teknologi tidak
dapat memahami pengguna perpustakaan sebagai ‘manusia seutuhnya’ dengan
segala kebutuhan informasinya. Teknologi hanyalah alat bantu untuk
mempermudah pekerjaan manusia. Namun untuk dapat memanfaatkan teknologi
tersebut secara optimal, diperlukan sumber daya manusia yang kompeten.
Sinergi antara manusia yang kompeten dan kecanggihan teknologi akan
menghasilkan ‘manusia-manusia’ baru keluaran perpustakaan.
Masalah SDM di perpustakaan harus selalu
mendapat perhatian serius dari universitas. Hal ini penting mengingat
perpustakaan adalah sarana publik yang dimanfaatkan oleh seluruh sivitas
akademika di universitas. Penempatan staf yang tidak kompeten di
perpustakaan sebetulnya tidak mengatasi masalah SDM di suatu
universitas, melainkan justru mencoreng ‘wajah’ sendiri karena kualitas
staf di perpustakaan menjadi salah satu indikator penilaian layanan
prima di suatu universitas. Maka kompetensi menjadi persyaratan utama
yang harus dipenuhi oleh sumber daya manusia di perpustakaan, karena
kompetensi menawarkan suatu kerangka kerja yang efektif dan efisien
dalam mendayagunakan sumber-sumber daya yang terbatas. Sumber daya
manusia atau tenaga kerja yang memiliki kompetensi memungkinkan setiap
jenis pekerjaan dapat dilaksanakan dengan optimal, efektif dan efisien.
Staf perpustakaan bertaraf internasional
memiliki kompetensi profesional dan kompetensi individual. Menurut US
Special Library Associations, kompetensi profesional terkait dengan
pengetahuan pustakawan di bidang sumber-sumber informasi, teknologi,
manajemen dan penelitian, serta pengetahuan kemampuan menggunakan
pengetahuan tersebut sebagai dasar untuk menyediakan layanan
perpustakaan dan informasi. Sementara kompetensi individual
menggambarkan satu kesatuan ketrampilan, perilaku dan nilai yang
dimiliki pustakawan agar dapat bekerja secara efektif, menjadi
komunikator yang baik, selalu meningkatkan pengetahuan, dapat
memperlihatkan nilai lebih serta dapat bertahan terhadap perubahan dan
perkembangan dalam dunia kerjanya. (University of Philipine memiliki
sertifikasi (ISO) pustakawan dari pemerintah).
Kendala:
- Penempatan SDM di perpustakaan merupakan hak atau kebijakan universitas, yang seringkali tidak memahami kebutuhan dan kompetensi yang dibutuhan Perpustakaan.
- Perpustakaan tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan stafnya.
- Pustakawan tidak merasa memiliki ‘masalah’ dengan kompetensinya
- Pustakawan menganggap teknologi adalah ancaman atau ‘musuh’.
Solusi yang dapat ditempuh:
- Rekrutmen untuk staf perpustakaan harus melibatkan professional dari bidang Perpustakaan dan psikologi. Hal ini mutlak dilakukan mengingat staf perpustakaan akan berhadapan dengan multi karakter yang menuntut kemampuan berkomunikasi yang baik dan memiliki jiwa asertif. Perlu diingat bahwa tidak semua orang memiliki jiwa melayani.
- Pengembangan staf dapat dilakukan secara internal, dengan memanfaatkan jaringan perpustakaan terdekat. Misalnya mengirim staf magang di perpustakaan terdekat yang lebih maju.
- Terapkan sistem “the right man on the right place” berdasarkan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat).
- Tingkatkan kemampuan berkomunikasi pustawakan dengan memberi kursus bahasa asing.
- Kenalkan teknologi terhadap staf dengan cara persuasif. Sebelum menerapkan teknologi, perlu sosialisasi yang intens terhadap semua staf sehingga menimbulkan ‘trust’ terhadap teknologi. Proses ini dilakukan dengan tetap mengacu pada target. Pada kasus tertentu, perpustakaan perlu menempuh keputusan radikal :”take it or leave it!”
d. Layanan
Layanan perpustakaan bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan informasi pengguna. Jenis layanan di perpustakaan
seharusnya mengakomodir kebutuhan semua pengguna. Misalnya, perpustakaan
tidak harus menghapuskan layanan konvensional seperti katalog kartu
jika masih ada pengguna yang membutuhkan. Seluruh jenis layanan yang ada
di perpustakaan harus berorientasi kepada kepuasan pengguna.
Perpustakaan bertaraf internasional
memiliki beragam jenis layanan yang dapat mengakomodir kebutuhan semua
jenis pengguna. Peningkatan mutu layanan menjadi prioritas dengan cara
melakukan evaluasi rutin. (Perpustakaan Universiti Kebangsaan Malaysia
melakukan sertifikasi (ISO) terhadap layanannya).
Kendala:
Perpustakaan tidak mengetahui layanan apa yang paling dibutuhkan pengguna
Perpustakaan tidak mengetahui layanan apa yang paling dibutuhkan pengguna
Solusi yang dapat ditempuh:
Lakukan evaluasi layanan secara reguler (minimal 1 kali setahun). Evaluasi dapat dilakukan dengan menyebarkan kuesioner sederhana mengenai layanan apa yang paling dibutuhkan pengguna.
Lakukan evaluasi layanan secara reguler (minimal 1 kali setahun). Evaluasi dapat dilakukan dengan menyebarkan kuesioner sederhana mengenai layanan apa yang paling dibutuhkan pengguna.
e. Sistem dan teknologi
Sistem dalam konteks perpustakaan merupakan seperangkat aturan atau ketentuan yang ada di perpustakaan yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi-fungsi perpustakaan secara optimal. Sistem juga sangat berkaitan dengan teknologi yang digunakan. Pemanfaatan teknologi di perpustakaan bertujuan untuk meningkatkan jumlah dan mutu layanan, efektifitas dan efisiensi waktu serta sumber daya manusia serta ragam informasi yang dikelola. Penerapan teknologi di perpustakaan juga telah menciptakan berbagai konsep seperti otomasi perpustakaan dan digital library. Teknologi juga memberi peluang untuk mengembangkan jaringan kerja sama dan resource sharing antar perpustakaan.
Sistem dalam konteks perpustakaan merupakan seperangkat aturan atau ketentuan yang ada di perpustakaan yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi-fungsi perpustakaan secara optimal. Sistem juga sangat berkaitan dengan teknologi yang digunakan. Pemanfaatan teknologi di perpustakaan bertujuan untuk meningkatkan jumlah dan mutu layanan, efektifitas dan efisiensi waktu serta sumber daya manusia serta ragam informasi yang dikelola. Penerapan teknologi di perpustakaan juga telah menciptakan berbagai konsep seperti otomasi perpustakaan dan digital library. Teknologi juga memberi peluang untuk mengembangkan jaringan kerja sama dan resource sharing antar perpustakaan.
Perpustakaan bertaraf internasional
tidak harus menggunakan teknologi mutakhir tetapi selalu memanfaatkan
teknologi semaksimal mungkin untuk memuaskan pengguna dalam hal
aksesabilitas.
Kendala:
- Pustakawan terlalu kaku menerapkan aturan di perpustakaan, sementara sistem tidak memberi peluang untuk fleksibilitas.
- Bagi universitas, investasi teknologi di perpustakaan sering dianggap sebagai cost yang tidak membawa benefit nyata.
- Teknologi yang canggih tidak menjamin operasional perpustakaan selalu berjalan lancar.
Solusi yang dapat ditempuh:
- Ciptakan sistem seluwes mungkin, sehingga tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan informasi pengguna tetap tercapai tanpa menyalahi ketentuan.
- Jalin kerjasama dengan pengembang sistem (vendor) atau manfaatkan sumber daya internal untuk membangun sistem (in house programme).
- Pilih teknologi yang digunakan oleh banyak orang sehingga memudahkan dalam hal maintenance dan trouble shooting.
- Gunakan teknologi secara bertahap.
Ingat bahwa teknologi hanyalah alat
bantu untuk memudahkan pekerjaan. Kunci keberhasilan teknologi tetap
pada sumber daya manusia!
f. Fasilitas
Fasilitas di perpustakaan menjadi salah
satu indikator yang dijadikan pengguna untuk menilai atau mengukur
kinerja perpustakaan. Layanan di perpustakaan akan berjalan secara
optimal jika didukung dengan fasilitas yang tepat. Fasilitas di
Perpustakaan tidak hanya ditujukan untuk pengguna, tapi juga untuk staf.
Lembaga harus memfasilitasi staf dengan baik untuk menciptakan
lingkungan kerja yang kondusif.
Perpustakaan bertaraf internasional
tidak selalu memiliki fasilitas mewah, tapi lengkap dan selalu berfungsi
optimal.
Kendala:
- Gedung perpustakaan tidak dirancang sesuai kebutuhan jangka panjang, tapi dimanfaatkan sesuai keadaan gedung.
- Anggaran pengadaan fasilitas seringkali mengabaikan maintenance.
Solusi yang dapat ditempuh:
- Pembangunan atau perancangan gedung perpustakaan harus direncanakan secermat mungkin dengan tetap berprinsip pada efisiensi dan efektifitas fungsi.
- Lakukan pemeliharaan fasilitas secara rutin dan cermat.
- Manfaatkan tenaga out sourching untuk fasilitas-fasilitas mahal tapi tidak dibutuhkan untuk jangka panjang.
PENUTUP
Perpustakaan adalah salah satu indikator
utama untuk mendukung universitas bertaraf internasional. Pemerinta,
melalui DIKTI perlu lebih serius mengkaji beberapa langkah strategis
yang dapat ditempuh untuk mencapai 25 perguruan tinggi bertaraf
internasional. Sebagai langkah awal, adalah membenahi perpustakaan
dengan tahap-tahap berikut :
1. Bentuk library board untuk tingkat
Nasional
- Brainstorming dan bersinergi dengan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan perguruan tinggi negeri dan swasta yang sudah dianggap cukup berhasil dalam mengembangkan perpustakaan.
- Manfaatkan pakar-pakar dari setiap perguruan tinggi untuk mengkaji dan memberikan masukan.
- Lakukan studi banding ke perpustakaan perguruan tinggi lain di luar negeri yang dapat dijadikan acuan dalam pengembangan perpustakaan bertaraf internasional. Studi banding dapat di breakdown berdasarkan bidang yang akan dikembangkan. Misalnya, fasilitas mengacu ke NUS, teknologi merujuk ke NTU, ISO layanan ke UKM, ISO pustakawan ke University of Philipine, dsb.
- Review kebijakan yang ada sekarang menyangkut pengembangan perpustakaan perguruan tinggi.
- Libatkan pimpinan universitas untuk memikirkan mengenai copyright, karena hal ini menyangkut publikasi perpustakaan.
- Masukkan semua unsur-unsur tersebut di atas ke dalam pembahasan RUU Perpustakaan Nasional yang kini sedang dibahas di DPR.
- Pilih perguruan tinggi yang dapat dijadikan sebagai pilot project dengan jangka waktu tertentu.
- Bentuk konsorsium.
- Gunakan teknologi yang sudah ada.
- Manfaatkan para pengusaha di bidang online database, pengembang software, penerbit, media dan pihak-pihak terkait sebagai sponsor.
Sumber Referensi :
- Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi. 2004. Edisi Ketiga. Departemen Pendidikan Nasional RI, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Jakarta.
- Kurniawan, Khaerudin. 2002. Visi Perguruan Tinggi di Era Pasar Bebas. www.balipost.co.id/balipostcetaK/2002/8/3/op1.htm – 26k (24 April 2006)
- Kurniawan, Khaerudin. 2003. Transformasi Perguruan Tinggi Menuju Indonesia Baru. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, edisi Maret 2003, Tahun ke – 9 No. 041.
- Rangking of the besat college libraries. 2005. http://www.collegeconfidential.com/ (24 April 2006)
- The 100 best universities in Asia. http://www.asiaweek.com (24 April 2006)
- http://perpustakaan.narotama.ac.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar