Latar Belakang
Perpustakaan Perguruan Tinggi di
Indonesia pada saat ini belum mengalami perkembangan yang
menggembirakan, terutama dalam mewujudkan perpustakaan yang dapat selalu
memenuhi kebutuhan penggunanya. Berbagai macam kendala baik dari dalam
maupun luar perpustakaan menjadi salah satu alasan yang mengemuka.
Selain itu perdebatan antara pengembangan perpustakaan tradisional dan
perpustakaan digital/elektronik semakin sering dilakukan. Namun
demikian, ternyata perkembangan selanjutnya telah “mengalahkan”
perpustakaan tradisional sebagai sebuah perpustakaan yang perlu
dikembangkan. Pelaku perpustakaan asyik melakukan berbagai usaha untuk
“memenangkan persaingan” dengan melakukan focus pengembangan terhadap
perpustakaan digital elektronik. Hal ini tentu membawa ke sebuah
ketimpangan dan pola pengembangan perpustakaan yang “sehat”.
Perpustakaan sebagai “jantung” perguruan
tinggi haruslah dapat menjadi sebuah “roh” bagi perguruan tinggi untuk
meningkatkan mutu lulusan dan civitas akademikanya. Untuk itu dukungan
dari berbagai pihak perlu dilakukan agar perpustakaan dapat difungsikan
sesuai dengan apa yang diharapkan. Disini penulis berusaha untuk sedikit
mengemukakan beberapa hal terkait pengembangan perpustakaan perguruan
tinggi di masa yang akan datang.
Kendala-kendala
Berbagai kendala pengembangan
perpustakaan perguruan tinggi secara umum antara satu perpustakaan
dengan perpustakaan lain di Indonesia khususnya memiliki banyak
persamaan (Sulistyo-Basuki, 1994), diantaranya adalah:
- Masalah sentralisasi dan desentralisasi
Masalah sentralisasi dan desentralisasi
seakan menjadikan momok bagi perpustakaan perguruan tinggi untuk
berkembang. Para “penganut” sentralisasi menganggap bahwa sentralisasi
memungkinkan kemudahan dalam kontrol pengadaan, perlengkapan,
pengolahan, dan peminjaman, sedangkan pelaku “desentralisasi” menganggap
bahwa desentralisasi memberikan keuntungan akan penempatan
koleksi/informasi yang lebih seseuai dengan kebutuhan pemakai dan
memudahkan dalam pengelompokkan koleksi yang akan membawa dampak
kemudahan pada pemakai. Permasalahan ini tidak akan pernah selesai untuk
dijadikan kendala dalam perpustakaan. Menurut hemat penulis, jalan
keluarnya adalah mengkolaborasikan dan mensinergikan antara kelemahan
dan kelebihan kedua konsep tersebut sehingga pilihan desentralisasi atau
sentralisasi tidak lagi dijadikan isyu penting dalam menentukan
pengembangan perpustakaan perguruan tinggi.
- Masalah tenaga pengelola
Masalah ini adalah masalah yang banyak
dihadapi oleh perpustakaan perguruan tinggi. Keterbatasan tenaga
pengelola terutama yang ahli dan mempunyai pendidikan khusus bidang
perpustakaan menjadi kendala tersendiri. Bahkan tidak sedikit yang
“hanya” memanfaatkan tenaga lulusan sekolah menengah, sehingga ada
keterbatasan dalam penguasaan permasalahan-permasalahan di perpustakaan.
Bersyukur saat ini pendidikan bidang perpustakaan cukup menjamur di
berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Ke depan perpustakaan perguruan
tinggi harus dapat menyediakan tenaga pengelola yang professional
dan mempunyai pendidikan yang cukup dalam bidang perpustakaan. Paling
tidak secara rutin harus dipikirkan untuk selalu memberikan semacam
bimbingan, pendidikan dan pelatihan bagi tenaga pengelola perpustakaan.
- Anggaran
Anggaran adalah permasalahan yang sampai
saat ini selalu menjadi alasan tidak dapat berkembangnya sebuah
perpustakaan perguruan tinggi. Memang pada kenyataannya anggaran
perpustakaaan perguruan tinggi saat ini masih ditopang oleh universitas
sebagai lembaga induknya. Namun yang jadi permasalahan adalah masih
minimnya perhatian universitas terhadap anggaran perpustakaan, bahkan
masih banyak terdapat perpustakaan yang mempunyai alokasi dana jauh dari
5-10% anggaran universitas sesuai dengan standard yang seharusnya ada.
Sudah saatnya ke depan, anggaran perpustakaan menjadi syarat mutlak bagi
para calon pemimpin universitas dalam menyampaikan visi
kepemimpinannya. Tentu hal ini tidaklah mudah, perlu perjuangan keras
dari para pengelola perpustakaan. Disisi lain, usaha inovatif dari
pengelola perpustakaan dalam mendapatkan dana juga perlu
dipertimbangkan.
- Koleksi
Koleksi adalah salah satu hal yang
selalu menjadi sorotan pengguna perpustakaan di perguruan tinggi. Tidak
sedikit pengguna yang selalu mengeluh bahwa koleksi perpustakaan tidak
pernah berkembang dan koleksi sudah ketinggalan jaman. Sebenarnya ini
adalah salah satu akibat dari seretnya anggaran dana yang diberikan
universitas kepada perpustakaan. Salah satu solusi yang mungkin adalah
melakukan usaha-usaha kerjasama dengan perpustakaan lain, sehingga ada
usaha saling menguntungkan antara perpustakaan perguruan tinggi. Hal
lain yang perlu dilakukan adalah mengadakan survey dan seleksi pengadaan
koleksi yang lebih baik, sehingga anggaran dana yang minim dapat
digunakan semaksimal mungkin. Hal ini untuk menghindari pemborosan,
karena pembelian koleksi yang asal-asalan akan mengakibatkan
ketidakmanfaatan pada koleksi yang ada. Pada berbagai perpustakaan
sering kita temui koleksi yang tidak pernah digunakan sama sekali oleh
pengguna selama bertahun-tahun. Tentu hal-hal semacam ini ke depan harus
dapat dihilangkan.
- Sikap para pemakai
Pemakai atau pengguna perpustakaan
sering menjadi permasalahan tersendiri. Banyaknya pemakai yang tidak
tahu cara memakai fasilitas perpustakaan, pemakai tidak tahu cara
menelusur informasi, pemakai yang melakukan perusakan terhadap buku, dan
seterusnya merupakan serentetan sikap pemakai yang menjadikan
perpustakaan semakin terpuruk. Disini perlu ada kerjasama antara pemakai
dan petugas perpustakaan, perlu adanya pendidikan pemakai dan promosi
perpustakaan yang baik. Hal ini penting karena dengan begitu pemakai
akan lebih bisa menghargai keberadaan perpustakaan dan juga bagaimana
cara menggunakan atau memanfaatkan perpustakaan yang benar.
Berdasarkan pengalaman penulis, dari
beberapa kendala yang disampaikan Sulistyo-Basuki tersebut dapat
ditambahkan kendala-kendala lain diantaranya adalah:
- Perkembangan Teknologi Informasi
Perkembangan teknologi informasi (TI)
membawa dampak tersendiri bagi perpustakaan. Perpustakaan dituntut untuk
dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi apabila tidak ingin
ketinggalan dalam menggapai informasi dan memberikan pelayanan yang
prima terhadap penggunanya. Perpustakaan akan memerlukan anggaran yang
lebih besar untuk memenuhi tuntutan pengembangan TI ini, staf / tenaga
perpustakaan dituntut untuk meningkatkan kemampuannya dalam bidang TI,
dan pemakai perpustakaan juga mau tidak mau harus dapat menyesuaikan
diri dengan fasilitas TI yang ada di perpustakaan. Sehingga ternyata
apabila tidak ditangani dengan baik, perkembangan teknologi informasi
ini akan menjadi kendala tersendiri bagi perpustakaan.
- Masalah Kepemimpinan
Masalah kepemimpinan juga merupakan
masalah yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Seringkali dalam
beberapa perpustakaan pengangkatan atau penunjukkan pimpinan
perpustakaan tidak didasarkan pada kompetensinya dalam bidang
perpustakaan tetapi lebih pada factor politis. Hal ini jelas akan sangat
mengganggu perkembangan perpustakaan. Karena seringkali perpustakaan
menjadi terbengkalai dan dinomorduakan, akhirnya perpustakaan menjadi
bagian yang hidup enggan mati tak mau. Untuk itu ke depan
perpustakaan perguruan tinggi selalu memerlukan pimpinan yang mempunyai
komitmen dan dedikasi tinggi terhadap pengembangan perpustakaan.
Pergeseran Paradigma
Sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka perpustakaan dan pusat informasi juga
mengalami pergeseran paradigma dalam sumber-sumber informasinya,
layanannya, dan pada orientasi penggunanya, dan tanggungjawab
staf/pekerja dalam layanan dan system di dalamnya. Menurut Stuert
(2002), saat ini pergeseran paradigma informasi yang berakibat pada
perubahan pola kerja dan orientasi institusi yang bergerak dalam bidang
ilmu pengetahuan seperti perpustakaan dapat dilihat dalam bagan sebagai
berikut:
(Stuert, Robert:
Library and Information Center Management, 2002)
Bagan di atas menekankan pada tiga hal
fundamental dalam sebuah institusi perpustakaan atau pusat informasi
yakni:
- Resources / sumber daya
Ada perubahan dan pergeseran dalam
pemanfaatan sumber daya. Apabila pada awalnya sumber daya hanya dimiliki
dan dimanfaatkan sendiri dan media yang digunakan sangat terbatas, maka
pada saat ini sumber daya harus dipikirkan untuk dapat di-sharing dalam
wadah yang lebih luas dan berorientasi pada pemanfaatan multiple media
atau berbagai ragam media. Hal ini penting karena ada keterbatasan pada
tiap-tiap organisasi/institusi perpustakaan dalam menyediakan sumber
dayanya. Untuk itu mau tidak mau perpustakaan harus dapat meningkatkan
kerjasama baik melalui forum-forum kerjasama maupun hubungan secara
langsung. Hal lain tentunya perpustakaan harus dapat memanfaatkan
kemajuan teknologi informasi yang memudahkan perpustakaan untuk
melakukan sharing informasi melalui apa yang disebut sebagai virtual
library.
- Services / Layanan
Cara pelayanan dalam bidang informasi
atau perpustakaan ini juga mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan
jaman. Pelayanan tidak lagi hanya hanya berorientasi pada pelayanan di
dalam saja (internal) tetapi harus mempunyai pandangan yang lebih
universal bagi akses informasi, kolaborasi, dan sharing sumberdaya dan
layanan. Konsep cara pelayanannya pun sudah harus lebih bervariasi
seperti halnya supermarket, bahkan mungkin hypermarket. Perpustakaan dan
pusat informasi diharuskan dapat memberikan berbagai pelayanan yang
dibutuhkan oleh pengguna yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
Seperti layaknya supermarket, maka perpustakaan atau pusat informasi
yang dapat memberikan pelayanan lebih bervariasi, murah dan cepat akan
memuaskan pengguna dan mendatangkan pengguna lebih banyak lagi.
- Users / Pengguna
Perlakuan terhadap pengguna dan perilaku
tenaga perpustakaan/pusat informasi juga hendaknya mengalami perubahan.
Sudah saatnya staf perpustakaan tidak hanya sebagai “penjaga buku” atau
koleksi dan menunggu datangnya pengguna tanpa melakukan usaha apapun
untuk mendatangkan pengguna. Sudah saatnya perpustakaan melakukan
promosi dan memberikan gambaran-gambaran kepada pengguna mengenai
bagaimana perpustakaan dapat menjawab kebutuhan informasi mereka.
Pengguna juga perlu diberdayagunakan, dididik dan dimanfaatkan untuk
perkembangan perpustakaan. Perpustakaan perlu lebih terbuka terhadap
kemauan dan keinginan pengguna serta dapat memberikan pengetahuan
mengenai pemanfaatan perpustakaan semaksimal mungkin.
Akhirnya diharapkan dari perubahan ini
maka akan terjadi sinergitas antara pengguna dan petugas perpustakaan.
Keduanya akan saling mendukung dalam pengelolaan dan pengembangan
perpustakaan.
Untuk itu perpustakaan, khususnya
perpustakaan perguruan tinggi ke depannya harus dapat pula menjawab
tantangan bagi perubahan paradigma di atas. Hal ini penting agar
perpustakaan perguruan tinggi selalu dapat mengikuti perubahan-perubahan
di dunia ilmu pengetahuan yang kadangkala tidak dapat diprediksi,
dihentikan dan dikontrol.
Peranan “Liaison Librarian”
Salah satu hal yang saat ini belum
penulis lihat cukup berperan dalam sebuah perpustakaan terutama
perpustakaan perguruan tinggi adalah adanya “Liaison Librarian”
atau dapat juga disebut sebagai pustakawan penghubung. Yang dimaksudkan
dengan “Liaison Librarian” disini adalah orang yang bertugas
membantu pengguna perpustakaan dalam memanfaatkan segala macam sumber
informasi dalam sebuah bidang tertentu yang terdapat di perpustakaan.
Dari beberapa kunjungan yang dilakukan
oleh penulis dalam beberapa perguruan tinggi di Indonesia, ternyata
penulis belum melihat adanya informasi mengenai liaison librarian
ini. Hal ini cukup mengherankan, karena melalui liaison librarian
inilah visi perpustakaan dalam memberikan total quality services
dapat terpenuhi. Liaison librarian sendiri memang membutuhkan
seorang tenaga yang menguasai dalam bidang tertentu. Misal, untuk bidang
social maka dapat ditangani oleh satu orang liaison librarian,
kemudian juga untuk bidang teknik dapat ditangani oleh satu orang liaison
librarian. Bahkan liaison librarian ini tidak hanya
sebagai penghubung, tapi juga berfungsi sebagai pembimbing, pendidik,
pemberi informasi dan penasehat terhadap sebuah informasi yang
dibutuhkan oleh pengguna perpustakaan. Liaison librarian ini
sangat berperan dalam penemuan informasi yang tepat dan akurat bagi
pengguna perpustakaan.
Perpustakaan perguruan tinggi ke depan
harus mampu menyediakan liaison librarian sebagai salah satu
garda terdepan pelayanan di perpustakaan. Sehingga pengguna perpustakaan
akan semakin merasakan manfaatnya ketika datang ke perpustakaan.
Konsep Perpustakaan “Hybrid”
“A hybrid library is a library where
‘new’ electronic information resources and ‘traditional’ hardcopy
resources co-exist and are brought together in an integrated information
service, accessed via electronic gateways available both on-site, like a
traditional library, and remotely via the Internet or local computer
networks.” (http://hylife.unn.ac.uk/toolkit/The_hybrid_library.html.
Diakses 20 April 2013 )
Dari pengertian di atas dapat dilihat
bahwa yang dimaksud dengan perpustakaan “hybrid” adalah merupakan bentuk
perpaduan antara perpustakaan tradisional dan perpustakaan
digital/elektronik.
Sebenarnya apabila dilihat, perpustakaan
perguruan tinggi saat ini secara tidak sadar dan langsung telah
mengembangkan sebuah konsep perpustakaan ini. Hanya saja hal itu masih
kurang terasa dan terlihat berdiri sendiri-sendiri. Konsep perpustakaan hybrid
ini tidak bisa dipisahkan. Artinya antara pengembangan resources dalam
bentuk “tradisional” juga harus seimbang dan dipadukan dengan
pengembangan resources “digital/elektronik”. Dalam beberapa sumber
disebutkan bahwa perpustakaan harus dapat memadukan antara sumber-sumber
yang berupa buku dengan sumber-sumber yang dapat diakses secara
elektronik/digital. Perpustakaan harus mengembangkan sebuah konsep
layanan informasi yang terintegrasi.
Jadi dalam perpustakaan hybrid
ini, pengguna selain memanfaatkan koleksi yang tercetak juga dapat
memanfaatkan koleksi yang dapat diakses secara elektronik atau virtual,
baik melalui jaringan lokal maupun jaringan internet. Ada sinergitas
antara koleksi tercetak dengan elektronik atau virtual, artinya konsep
tradisional dan elektronik kedudukannya saling melengkapi satu dengan
lainnya, tidak terpisah dan terintegrasi. Perpustakaan perguruan tinggi
ke depan harus dapat menerapkan konsep perpustakaan hybrid ini
secara lebih “benar” sehingga pengembangan perpustakaan lebih terarah
dan tidak berdiri sendiri-sendiri dan terkesan hanya mengikuti trend
belaka. Hal lain adalah perubahan paradigma informasi seperti yang
disampaikan Stuert, akan dapat dijaga dengan penerapan yang benar
terhadap apa yang dinamakan perpustakaan hybrid ini.
Penutup
Perpustakaan perguruan tinggi ke depan
pada intinya harus dapat menjawab tantangan perubahan paradigma
informasi. Perpustakaan harus dapat memberikan ruang akses yang lebih
baik kepada sumber dayanya, penggunanya, dan layanannya. Perpustakaan
juga perlu kembali mencermati kendala-kendala yang ada sehingga ke depan
dapat mengatasi berbagai kendala dengan baik. Sudah saatnya bagi
perpustakaan untuk memfokuskan diri pada mutu pelayanan dengan
melibatkan pustakawan secara lebih aktif melalui apa yang disebut dengan
liaison librarian dan juga menerapkan secara utuh dan lengkap
konsep perpustakaan hybrid.
Daftar Bacaan
Hutton, Angelina. 2001. The Hybrid
Library. http://hylife.unn.ac.uk/toolkit/The_hybrid_library.html
diakses tanggal 19 Oktober 2005.
Qalyubi, Syihabuddin dkk. 2003.
Dasar-dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Cetakan 1, Yogyakarta:
Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Adab IAIN Sunan
Kalijaga.
Stuert, Robert D. and Barbara B. Moran.
2002. Library and Information Center Management. 6th edition.
Greenwood Village, Colorado: Libraries Unlimited.
Sulistyo-Basuki. 1991. Pengantar Ilmu
Perpustakaan. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Sulistyo-Basuki. 1994. Periodisasi
Perpustakaan Indonesia. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya .
Zheng Ye (Lan) Yang. 2000. University’s
Faculty Perception of a Library Liaison Program: A Case Study. The
Journal of Academic Librarianship, Volume 26. Number 2, pages.
124-128.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar