Oleh Azyumardi Azra
Filantropi Islam Indonesia dalam bentuk ziswaf (zakat, infaq, sedekah, wakaf) memiliki potensi sangat besar. Belakangan ini berbagai kalangan memperkirakan, potensi ziswaf Indonesia mencapai sekitar Rp 217 triliun setiap tahun.
Meski realisasinya masih jauh daripada
potensi itu, ziswaf yang terus bertumbuh kian menjadi ‘rebutan’ di
antara berbagai lembaga. Sejak dari amir masjid di masjid lingkungan
pertetanggaan, ormas Islam, LSM kolektor-distributor, sampai pada
pemerintah.
Adanya tarik tambang antara pihak-pihak
tersebut terlihat dari judicial review UU No 23 Tahun 2011
tentang Zakat ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan LSM
kolektor-distributor ziswaf pada 2011. Koalisi LSM yang bergerak dalam
pengelolaan dana ziswaf —yang dapat dikatakan sebagai representasi civil
society— menggugat UU yang memberikan otoritas dan wewenang
terlalu besar kepada Baznas. Mereka memandang hal itu dapat mengancam
eksistensi lembaga pengumpul dan distribusi ziswaf yang telah relatif
sukses dalam menggali dan meningkatkan realisasi dana ziswaf sejak
1990-an.
Isu seperti ini terkait banyak dengan
perkembangan historis filantropi Islam Indonesia di masa silam. Karena
itu, karya Dr Amelia Fauzia, Faith and the State: A History of
Islamic Philanthropy in Indonesia (Leiden-Boston: Brill, 2013)
memiliki signifikansi khusus. Buku ini merupakan karya komprehensif
pertama tentang sejarah filantropi Islam Indonesia sejak masa awal
Islamisasi Nusantara pada abad ke-13, melintasi masa kerajaan-kesultanan
Islam, penjajahan Belanda, dan masa pascakemerdekaan, termasuk masa
kontemporer.
Menyimak literatur tentang filantropi
Islam umumnya, bahkan kelihatan belum ada karya komprehensif semacam ini
untuk negara Muslim lain, apalagi untuk dunia Islam secara keseluruhan.
Seperti dikemukakan Profesor MC Ricklefs dalam pengantarnya; “karya ini
merupakan kajian sejarah otoritatif dengan topik sangat penting yang
terus relevan untuk masa depan yang dapat dibayangkan.”
Kontestasi kelihatannya bakal terus
mewarnai sejarah filantropi Islam Indonesia hari ini dan masa datang.
Keadaan seperti ini jelas terlihat di masa silam. Kontestasi tersebut
jelas banyak terkait dengan hal hubungan dan peran negara dalam
filantropi Islam. Amelia menyimpulkan terdapat kontestasi di antara tiga
kelompok besar umat dalam kaitannya dengan posisi negara tersebut.
Pertama, kalangan umat atau lembaga
Islam yang mendukung kontrol negara terhadap agama —dalam hal ini
filantropi Islam. Kedua, mereka yang menentang campur tangan dan
institusionalisasi filantropi oleh negara. Dan ketiga, mereka yang ingin
memelihara filantropi tetap berada di tangan aktor-aktor nonnegara,
tetapi pada saat yang sama menuntut dukungan negara.
Adanya kontestasi itu di masa sekarang
atau masa pascakemerdekaan secara keseluruhan, terkait tidak hanya
dengan perbedaan pandangan di kalangan umat Islam tentang hubungan
antara agama dan negara, tetapi juga dengan sifat negara Indonesia.
Menurut Amelia —yang sepenuhnya didukung Ricklefs— dalam masa Indonesia
modern, hubungan antara negara dan agama memperlihatkan posisi unik.
Negara Indonesia pada dasarnya bersikap ‘tidak peduli’ (indifferent)
terhadap agama karena menganggapnya lebih banyak sebagai ikhwal
pribadi. Negara Indonesia tidak mengambil dua bentuk hubungan lain
dengan agama: pertama, menjadikan agama sebagai basis ideologis; dan
kedua, memusuhi agama.
Meski bersikap indifferent
terhadap agama, Indonesia mengakui eksistensi agama tanpa menyebut agama
tertentu —khususnya Islam sebagai agama mayoritas— sebagai dasar atau
ideologi negara. Namun, Islam menjadi tetap faktor penting karena
mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Dinamika dan perubahan yang
terjadi dalam masyarakat Muslim dan negara bagaimanapun memunculkan
nuansa baru dalam hubungan antara negara dan agama.
Perubahan itu terlihat jelas sejak masa
paroan kedua rezim Orde Baru. Seperti disinggung Ricklefs, sejak
berkuasa, presiden Soeharto percaya agama dapat dia gunakan sebagai alat
kontrol sosial dan agenda antikomunis. Meski demikian, dalam paroan
pertama kekuasaannya, banyak kalangan umat merasakan kebijakan Soeharto
yang tidak bersahabat kepada Islam. Barulah dalam paroan kedua kedua
kekuasaannya, khususnya sejak 1990-an, presiden Soeharto mengambil
langkah rekonsiliatif dengan umat Islam.
Perubahan sikap dan kebijakan presiden
Soeharto menjadi salah satu faktor penting dalam perkembangan filantropi
Islam. Soeharto sendiri memprakarsai usaha filantropi Islam yang
kemudian terbukti menjadi salah satu warisan (legacy)
pentingnya, yaitu Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YABMP) yang
memungut dana Rp 1.000 dari setiap PNS dan anggota ABRI beragama Islam,
yang selanjutnya digunakan untuk membangun masjid dan kegiatan dakwah.
Dengan demikian, negara —seperti
diwakili presiden Soeharto— secara ‘tidak resmi’ telah mengambil peran
penting dalam filantropi Islam. Pada saat yang sama kemajuan pendidikan
dan ekonomi umat menghasilkan peningkatan potensi dana filantropi Islam
Indonesia. Ini mendorong munculnya LSM advokasi filantropi Islam yang
memunculkan berbagai kisah sukses.
Sumber
Sumber
Berita terkait :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar