Tulisan jalan

Rabu, 22 Mei 2013

Demokrasi: Apa yang Salah?

Resonasi

Oleh : Azyumardi Azzra


Mengamati perjalanan demokrasi di Indonesia dalam 15 tahun yang masih semrawut (messy), sebagian kalangan masyarakat dan pengamat sering bertanya: apa yang salah dengan demokrasi? Mengapa demokrasi belum juga mampu membawa warga pada kesejahteraan?

Pertanyaan yang sama juga relevan dalam konteks transisi demokrasi di dunia Arab, seperti di Tunisia, Mesir, Yaman, dan bahkan Bahrain-untuk tidak menyebut Suriah- yang terus berdarah-darah.


Apa yang salah dengan demokrasi? Tema ini sering pula menjadi pembicaraan hangat dalam lembaga-lembaga internasional penguatan demokrasi. Sebagai contoh saja, lembaga International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) yang berpusat di Stockholm-di mana saya menjadi salah satu anggota Dewan Penasihat-dalam tiga tahun terakhir menjadikan subjek ini sebagai topik utama; Democracy: What Went Wrong?

Ada kekhawatiran, jika demokrasi gagal mewujudkan janji untuk peningkatan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan, kian banyak warga berpaling pada sistem politik lain. Demokrasi memiliki batas dan kelemahan tertentu; ia bukan sistem yang seratus persen tanpa kelemahan.

Pada satu sisi, demokrasi memberikan ruang amat luas bagi kebebasan politik dan partisipasi politik warga, misalnya. Akan tetapi, pada saat yang sama, kebebasan politik demokrasi yang berlangsung cenderung kebablasan beriringan dengan lambatnya pengambilan keputusan, baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif. Akibatnya, program pembangunan tidak dapat berjalan baik dan peningkatan kesejahteraan warga kian jauh.

Apa yang salah dengan demokrasi Indonesia? Tema ini diangkat Lembaga Demokrasi Bertanggungjawab (LDB) dan majalah Gatra, pekan lalu (25/4). Jusuf Kalla, wapres RI (2004-2009), dalam pidato kuncinya menyatakan, sejak masa Reformasi 1998, Indonesia telah melaksanakan demokrasi terbuka, otonomi daerah, dan kebebasan pers. Namun, pencapaian penting ini dalam pelaksanaannya masih bermasalah karena tujuan demokrasi belum tercapai.
Menurut JK, bukan demokrasinya yang salah, melainkan sistem dan prosedur demokrasi tidak berhasil mencapai tujuan kesejahteraan rakyat karena kepemimpinan yang lemah. “Demokrasi akhirnya memang bergantung pada siapa yang memimpin. Kita butuh kepemimpinan kuat untuk menjalankan demokrasi untuk mencapai tujuan kesejahteraan rakyat.”

Bagi saya sendiri, meski demokrasi belum berhasil mencapai tujuan dan proses-prosesnya juga masih kacau, demokrasi tetap merupakan sistem politik yang lebih sedikit mudharatnya dibandingkan sistem-sistem politik lain semacam monarki, teokrasi, atau oligarki. Dengan lingkungan sosial-budaya dan agama begitu majemuk, demokrasi memberikan ruang lebih besar bagi ekspresi, akomodasi, dan kompromi bagi masyarakatnya yang amat multikultural.

Namun, dalam perjalanannya selama satu setengah dasawarsa, demokrasi Indonesia masih berkutat dalam demokrasi prosedural melalui pemilu dan pemilukada yang reguler, parpol yang begitu banyak, dan lembaga perwakilan yang koruptif. Demokrasi prosedural dalam kenyataannya diwarnai banyak ekses dan konsekuensi yang tidak diharapkan. Pada segi lain, demokrasi substantif masih jauh daripada terwujud dan fungsional dalam realitas politik sehari-hari.

Karena itu, demokrasi Indonesia masih perlu konsolidasi lebih lanjut. Pertama, konsolidasi lembaga-lembaga demokrasi, misalnya, dengan penciptaan keseimbangan kekuasaan lebih baik di antara legislatif dengan eksekutif, dan bahkan yudikatif. Kecenderungan legislative heavy yang terjadi sejak masa pasca-Pemilu 1999 hingga sekarang mesti dikembalikan pada ekuilibriumnya.

Pada saat yang sama, perlu penyederhanaan dan penguatan parpol. Parpol yang terlalu banyak hanya menghasilkan friksi, kontestasi politik tanpa akhir, yang menjadikan parpol, lembaga legislatif, dan eksekutif saling menyandera. Akibatnya, tugas dan tanggung jawab kepemerintahan tidak dapat dieksekusi dengan baik. Setiap parpol lebih tertarik pada kepentingan partisan masing-masing yang ingin mereka peroleh dengan cara-cara pragmatis dan oportunistis.

Beriringan dengan itu adalah penguatan dan pemberdayaan lembaga-lembaga penegak hukum dan birokrasi agar dapat menjalankan fungsi serta tugas secara netral dan imparsial. Politisasi dan manipulasi lembaga penegak hukum dan birokrasi yang mengakibatkan distorsi harus dihentikan agar mereka dapat menjalankan tugas penegakan hukum dan perbaikan kesejahteraan warga.

Tak kurang pentingnya adalah penguatan budaya politik demokrasi. Sampai sekarang, elite politik tidak menunjukkan komitmen pada democratic political behaviour. Mereka umumnya hanya siap menang dalam pemilu atau pemilukada. Jika kalah, mereka menempuh cara tidak demokratis dengan mengerahkan massa melakukan pelanggaran hukum dan ketertiban dan perusakan fasilitas publik.

Akhirnya, konsolidasi demokrasi hanya bisa berhasil dengan kepemimpinan integritas, visioner, dan desisif sejak dari tingkat atas sampai ke level bawah. Kepemimpinan tanpa integritas, hipokritikal, lemah, dan koruptif membuat demokrasi terlihat lemah pula dan dapat gagal mewujudkan janji-janjinya.

Sumber 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar